Rabu, 14 September 2011

Zona Tidak Nyaman(1)

Perusahaan tentu saja berharap para karyawan baru menunjukkan sikap ‘excited’ dengan tempat kerja barunya. Dalam sebuah sesi orientasi karyawan baru, seorang pimpinan unit kerja menyampaikan pada sejumlah karyawan, betapa pentingnya mengkontribusi pikiran dan hati di tempat kerja. Seorang karyawan kemudian mengajukan pertanyaan,”Bagaimana bila hati kita tidak bisa kita curahkan sepenuhnya, karena kita belum benar-benar happy dengan tempat kerja kita?” Ini tentu saja pertanyaan jujur dan seringkali sulit kita jawab.

Terus terang, inilah kenyataan yang kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja ataupun orang yang bekerja. Tak jarang lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis atau bahkan kultur perusahaan. Namun, bisakah kita langsung mengambil langkah menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah itu, bukan? Kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima dan keluarga yang butuh “dihidupi”. Lalu, bagaimana harus bersikap? Apakah kita harus seumur hidup bertahan, berangkat kerja setiap hari dengan perasaan berat?

Suasana tidak nyaman yang kita hadapi bisa juga karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: Kondisi jalan macet, jarak rumah kantor yang harus ditempuh dalam 2 jam, kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya menyebabkan kita merasa ‘tidak betah’ di lingkungan, bahkan negara sendiri. Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Betapa banyak orang yang bernasib seperti kita, dengan alasan-alasan yang bervariasi. Tentu tantangannya adalah tetap berpegang pada prinsip, profesionalisme dan menjaga sikap agar tidak lebih dalam lagi tenggelam dalam rasa ‘tidak happy’ tadi.

Realitas sebagai Landasan untuk Maju

Berada di satu posisi yang baik dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa ‘uncomfortable’. Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling tidak masih punya pekerjaan di tengah keadan ekonomi yang tidak bersahabat.

Kita sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita miliki, sesungguhnya 100% otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita. Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-“re-energize” dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita, kemudian menterjemahkannya ke dalam motif, kekuatan dan ‘passion’ yang segar. Jika kita mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa bersikap proaktif dan melakukan ‘brainstorming’ kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.

Kotak-katik cara kerja, pembenahan hubungan kerja dan persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul betul bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita. Dengan spirit “job crafting’ , kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekedar berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai hasil kreasi kita. Dengan perasaan:” sayalah penentu cara kerja saya” , “sense of control” menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita bebas menarikan,menyanyikan dan berlari dalam pekerjaan sendiri.

(Dimuat di Kompas, 12 Juni 2010)

Tidak ada komentar: