Minggu, 24 Agustus 2014

Chusnul: Ini Akibatnya Kalau Sarjana Pertanian Jadi Ketua KPU

Chusnul: Ini Akibatnya Kalau Sarjana Pertanian Jadi Ketua KPU


JAKARTA - Proses Pilpres 2014 menyisakan permasalah yang saat ini sedang diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mantan Ketua Komisioner Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mar'iah menuding ini akibat jika penyelenggara pemilu dipimpin oleh Husni Kamil Manik yang merupakan seorang sarjana pertanian.

"Harusnya KPU itu dipimpin oleh orang yang memiliki latar belakang ilmu politik dan hukum.
Kalau sarjana pertanian ya ibarat menanam jagung di kebun kita," kata Chusnul dalam diskusi bertema "Apakah Pilpres akan Menuai Malapetaka Bangsa," di Cikini, Jakarta, Senin (18/8/2014), seperti diberitakan okezone.

Menurut dia, anggapan "menanam jagung di kebun kita" adalah kesalahan terbesar Husni saat menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT). Saat itu, dia menjalin kerjasama dengan pihak asing dalam hal ini International Foundation for Election System (IFES).

Padahal, 2004 KPU bersama BPS mengerjakan DPT dengan anggaran Rp427 miliar. Kemudian 2009 diubah datanya melalui pemutakhiran data dengan anggaran Rp3,8 trilun.

Sekarang, diubah lagi proyeknya diberi nama e-KTP, dengan anggaran Rp5,8 triliun. KPU minta data lagi Rp1,7 triliun untuk memperbaiki data dari Kemendagri yakni 190 jutaan data pemilih menjadi 180 juta lebih.

"Pertanyaanya punya dana Rp1,7 triliun diberikan kemana proyeknya? Jawabannya sempat rame yaitu IFES dari Washington sana. Harusnya ini privasinya ada bukan diberikan ke asing," tegasnya.

Bahkan, Chusnul menganggap Ketua Bawaslu yakni Muhammad, lebih kompeten dan pantas menjadi Ketua KPU. "Bagi saya Muhammad, lebih pantas jadi Ketua KPU dibanding sekarang. Kalau yang sekarang kan S1-nya sarjana pertanian," tuntasnya.

http://www.pkspiyungan.org/2014/08/chusnul-ini-akibatnya-kalau-sarjana.html

Sabtu, 23 Agustus 2014

Yusril Ungkap Rekayasa Hasil Pemilu

Yusril Ungkap Rekayasa Hasil Pemilu


Yusril Izha Mahendra, pakar hukum tata negara yang menjadi saksi ahli dalam sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu memaparkan mengenai rekayasa hasil pemilu dan lembaga survei pada pemilu di Indonesia melalui akun Twitternya.

“Saya ingin menuliskan tentang lembaga survei Pemilu yang akhir-akhir ini sering menghebohkan dunia politik kita. Kita sudah tahu-sama-tahu bahwa lembaga-lembaga survei yang menjamur itu bukanlah lembaga yang murni akademis, tetapi lembaga profesial yang komersial. Tidak saya pungkiri bahwa dalam bekerja, lembaga-lembaga survei itu menggunakan metode-metode akademis. Namun aspek komersialnya tidak dapat diabaikan pula.

Partai politik atau politisi yang akan berkompetisi, sudah lazim meminta lembaga survei melakukan kegiatannya. Tujuannya bukan semata-mata untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya, tetapi juga untuk membentuk opini publik.

Tidak jarang suatu lembaga survei sdh menandatangani kontrak dengan partai politik atau politisi untuk jangka waktu tertentu. Besarnya nilai kontrak tentu sesuai kemampuan partai atau politisi yang bersangkutan. Makin besar uang, makin canggih lembaga surveinya.

Biasanya laporan hasil riset ada 2 macam. Satu yang benar, hanya untuk kepentingan internal; dan yang tidak benar, untuk kepentingan publik. Hasil survei yang tidak benar dan disulap itulah yang dijadikan konsumsi untuk memengaruhi opini publik.

Hasil survei yang disulap itu dipublikasikan secara luas melalui jaringan media sehingga menjadi kontroversi. Hasil survei yang disulap itu bisa dijadikan sebagai bagian dari upaya kecurangan pemilu secara sistemik. Melalui pengumuman hasil survei yang meluas itu, pelan-pelan opini publik akan terbentuk, mana partai atau tokoh yang unggul, mana yang memble.

Kalau opini sudah terbentuk, langkah selanjutnya merekayasa perolehan suara agar pas seperti hasil survei. Banyak cara dapat dilakukan untuk merekayasa perolehan suara. Langkah pertama dimulai dari penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Makin kacau dan tidak akurat DPT, rekayasa akan makin mudah. Surat suara yang berlebih, bisa dicoblos sendiri untuk menangkan suatu parpol.

Berbagai trik untuk mengatur perolehan suara dilakukan sejak dari tingkatan TPS (lokasi), PPS (Desa/Kelurahan), PPK (Kecamatan) sampai Kabupaten/kota. Luasnya wilayah negara kita membuat pengawasan penghitungan suara menjadi sangat sulit dan rumit. Ada potensi untuk curang disini.

Tiap kali Pemilu, Teknologi Infoemasi (IT) Komisi Pemilihan Umum selalu ngadat, pengumpulan suara lamban dan membosankan. Keadaan ini membuat orang lelah, apatis dan akhirnya putus asa serta tidak perduli lagi. Dalam keadaan seperti itu, praktik jual beli suara, transaksi pemindahan suara dari 1 parpol ke parpol lain terjadi dengan mudahnya.

Siapa yang dapat melakukan kecurangan seperti ini? Yang dapat melakukan kecurangan sistemik seperti itu hanya mereka yang kuat secara politik, birokrasi dan finansial. Akhirnya Pemilu ditentukan oleh transaksi uang dan kekuasaan. Suara rakyat dipermainkan dan dimanipulasi. Kedaulatan rakyat hanyalah mimpi.

Akhirnya apa yang terjadi? Hasil akhir pemilu persis seperti hasil survei yang sebelumnya sudah dicekokkan kepada public. Rakyat pun akhirnya dapat menerima urutan pemenang pemilu, toh sudah cocok dengan hasil survei jauh hari sebelum pemilu yang sudah ada di otak mereka. Kalau demikian, maka bukan lembaga survei itu yang canggih bisa memprediksi hasil Pemilu. Tapi sebaliknya, hasil pemilu yang direkayasa secara sistemik agar hasilnya sesuai dengan hasil survei. Semoga mencerahkan mengenai sisi lain survei dan hasil Pemilu di negeri yang makin antah berantah ini.” tutupnya. (sumber: kabarnet)

http://www.pkspiyungan.org/2014/08/yusril-ungkap-rekayasa-hasil-pemilu.html

Jumat, 01 Agustus 2014

"Nyesel Gue Pilih Jokowi, Mending Prabowo"

"Nyesel Gue Pilih Jokowi, Mending Prabowo"... itu adalah sikap para PKL yang super kecewa karena diusir-usir sama satpol PP atas perintah Ahok si PLT Gubernur DKI. 

Terbukti kan mereka hanya tergiur pencitraan, terkesima sesaat, tanpa mengenali dengan pasti siapa calon pemimpin mereka saat mereka belum melakukan pencoblosan. Sengsara dalam 5 tahun ke depan...sudah terbayang di benak mereka. Kalau mereka nggak mau nurut, pastinya si Ahok akan dengan mudah menggeret mereka yang membangkang untuk masuk ke penjara.
Terus terang, saya kurang suka melihat gaya kepemimpinan Ahok yang sok tangan besi...haduuuh....baru jadi PLT Gubernur sudah seperti itu. 
Biar bagaimana  Ahok sudah masuk ke dalam pemerintahan, gak bisa lah di samakan dengan gaya preman. Ini Jakarta, bukan punya Ahok, Jakarta itu punya-nya rakyat Indonesia, bukan Ahok...

Sebagai seorang yang sudah masuk dalam pemerintahan, Ahok dan terutama Jokowi mestinya bisa saling melakukan pembatasan sikap sebagai pejabat daerah, bukan dengan gaya preman tapi lebih persuasif dan lebih bijak dalam menghadapi PKL yang sudah bertahun-tahun berdagang dan mencari nafkah disana.

Entah sampai kapan... pastinya Allah SWT akan memberi tahu bangsa ini, betapa bodohnya rakyat yang memilih pemimpin yang bodoh, yang hanya tahu lewat berita salah satu stasiun TV dan tidak benar-benar meminta petunjuk dari Allah SWT Sang Penguasa sebenarnya. Astagifirullah....ampuni kami Ya Allah...

Ini berita lengkapnya :

JAKARTA, KOMPAS.com — Para pedagang di Pasar Kemuning/Mede Jatinegara, Jakarta Timur, banyak yang ngedumelkesal akibat ditertibkan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mereka menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. 

Awalnya, sejumlah pedagang sambil bersungut-sungut memindahkan barang dagangan mereka yang digelar di pinggir jalan dan trotoar. Suasana masih berlangsung kondusif. Namun, setelah seorang pedagang pakan ikan diangkut perlengkapan dagangnya, sejumlah pedagang lain ikut membela. 

Beberapa pria menggerutu sambil menyalahkan Jokowi dan Ahok. Sorakan kecewa terhadap dua tokoh itu juga terdengar. Ada juga yang mengaitkannya dengan masalah Pemilu Presiden 2014 lalu. 

"Nyesel pilih Jokowi, bilangin ke Jokowi ya, intinya pedagang sininyesel pilih dia," ujar seorang pria kepada wartawan. 

"Ini karena Ahok nih. Yang dibela paling yang itu aja (menyebut etnis)," ujar pedagang lainnya. 

"Emang dia mau kasih makan anak bini gue apa? Nyesel gue pilih Jokowi, mending Prabowo," kata pedagang lain.

Tak hanya Jokowi dan Ahok, pedagang juga sempat memprotes media. "Ngapain liput-liput? Jangan ngomong sama wartawan. Paling enggak dibelain," seru yang lain. 

Muhammad Sani (38), seorang pedagang ikan, mengatakan kecewa dengan penertiban tersebut. Sani menilai, pemerintah dan seluruh jajarannya tidak berpihak kepada rakyat. 

"Kita nyari duit halal. Daripada suruh kita jadi pencuri. Ini masih hari raya Idul Fitri, lho. Harusnya disediain tempat dulu baru digusur," ujar Sani. 

Sani mengaku, dia tidak menyalahkan pemimpin DKI atas masalah ini. "Saya netral, enggak peduli ini dari pemda atau apa, yang penting saya bisa usaha. Kalau begini yang ada nambahpengangguran. Emang mereka ngasih kita makan apa?" katanya kesal. 

Sebelumnya, puluhan petugas Satpol PP menggusur PKL dan parkir liar di Jatinegara. Petugas memindahkan dan mengangkut lapak PKL yang dibiarkan teronggok oleh pedagang. Sementara itu, yang diselamatkan pedagang tidak diambil petugas. Puluhan petugas terlibat dalam penertiban tersebut.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sampai kapanpun...selama bangsa ini memilih pemimpin yang bodoh, hanya akan berujung pada kesengsaraan rakyat....